Kamis, 17 Agustus 2017

MENCARI MIKROFON PROKLAMASI

Dalam pidato di hari jadi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia di Jakarta, 5 Oktober 1966, Presiden Sukarno menyampaikan pentingnya mikrofon yang digunakannya untuk membacakan Proklamasi kemerdekaan.
“Kita telah memiliki pada tanggal 17 Agustus 1945 itu microphone. Satu-satunya hal boleh dikatakan, materiel yang telah kita miliki, satu microphone, yang dengan microphone ini kita dengungkan ke hadapan seluruh manusia di bumi ini bahwa kita memproklamasikan kemerdekaan kita,” kata Sukarno.
Dari mana mikrofon itu? Sukarno menyebutnya hasil curian dari Jepang. “Aku berjalan ke pengeras suara kecil hasil curian dari stasiun radio Jepang dan dengan singkat mengucapkan proklamasi itu,” kata Sukarno dalam otobiografinya, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia.
Dalam ceramahnya di Lembaga Pembinaan Jiwa ‘45 Jakarta, 6 September 1972, Sudiro menyinggung seorang mantan pejabat tinggi yang menyebut mikrofon itu curian dari Belanda. “Itu tidak betul!” bantah Sudiro dalamPengalaman Saya Sekitar 17 Agustus 1945.
Sudiro mengungkapkan bahwa mikrofon itu milik Gunawan, pemilik Radio Satriya, yang bertempat tinggal dan berusaha di Jalan Salemba Tengah 24 Jakarta. Mikrofon itu buatan Gunawan sendiri, baik corong maupun standarnya. Begitu pula verstekker (amplifier atau penguat suara) dan band-nya yang dibuat dari zilverpapiar, selubung rokok.
“Semuanya itu adalah hasil kecerdasan otak dan ketrampilan tangan seorang Indonesia yang bernama Gunawan itu,” kata Sudiro.
Gunawan mengakui bahwa mikrofon itu buatannya sendiri yang memang darurat sesuai dengan keadaan waktu itu yang serba sulit. “Magnitnya saya buat dari dua buah dynamo sepeda, sementara band-nya hanya dari grenjeng(kertas perak pembungkus rokok),” kata Gunawan dikutip Kompas, 16 Agustus 1984.
Keluarga Gunawan berusaha menyewakan mikrofon dan amplifier berikut perlengkapannya. Waktu itu, semua mikrofon dan kelengkapannya habis disewa dan tinggal sebuah untuk kebutuhan keluarganya sendiri.
Pada 17 Agustus 1945 pukul 07.00 pagi, Wilopo dan Njonoprawoto mengendarai sebuah mobil datang untuk meminjam mikrofon. Mereka tidak memberitahu Gunawan untuk keperluan apa mikrofon itu. Waktu itu, Wilopo bekerja di Balai Kota Jakarta sebagai pembantu Soewiryo, wakil walikota Jakarta.
Wilopo dan Njonoprawoto tidak bisa memasang mikrofon. Maka, Gunawan menyuruh saudaranya, Sunarto untuk membantu memasangnya. Ketika di dalam mobil, Sunarto diberitahu, bahwa mikrofon itu untuk Proklamasi kemerdekaan. Sunarto, yang kemudian menjadi pengusaha dan tinggal di Bogor, memasang mikrofon itu di Pegangsaan Timur 56 pada 17 Agustus 1945.
Standard didirikannya di ruang muka terbuka, dan versterker diletakkan di dalam kamar muka sebelah kiri dari ruang terbuka itu,” kata Sudiro. Setelah selesai dipakai, siang itu juga, mikrofon diserahkan kembali oleh Wilopo kepada Gunawan.
“Ternyata,” kata Sudiro, “mikrofon tersebut masih mempunyai peranan lebih lanjut.”
Mikrofon itu dibawa hijrah pemiliknya ke Solo pada permulaan tahun 1946. Sejak digunakan Sukarno, mikrofon itu disimpan baik-baik dan hanya diperlihatkan sesekali kepada sahabat-sahabatnya saja dan tidak pernah digunakan lagi.
Pada akhir tahun 1949, keluarga Gunawan kembali ke Jakarta. “Mikrofon beriwayat itu dibawanya, versterker-nya telah rusak, dan ditinggal di Yogyakarta,” kata Sudiro. Sumber lain menyebut amplifier yang rusak dan ditinggal di Yogyakarta.
Berkali-kali mikrofon itu ditawar orang, tetapi keluarga Gunawan selalu menolaknya. “Ada seorang India dari suku Sikh yang datang malam-malam, menyatakan keinginannya menukar mikrofon itu dengan sebuah rumah di Jalan Imam Bonjol,” kata Gunarso, putra Gunawan. Tetapi Gunawan menolaknya karena menganggap mikrofon itu tak ternilai harganya.
Gunawan kemudian menyerahkan mikrofon itu Harjoto, Sekjen Kementerian Penerangan. “Harjoto menerangkan bahwa dia menyerahkan ‘mikrofon keramat' kepada Presiden Sukarno sebagai hadiah dalam hubungannya dengan ulang tahun Presiden ke-58,” tulis Antara, 17 Juni 1959.
Menurut Sudiro, mikrofon beserta standard-nya tanpa versterker diserahkan Harjoto melalui Darmosugondo kepada Sukarno di Tokyo untuk disimpan di Monumen Nasional.
“Harus diakui," kata Sudiro, "di samping kertas dengan teks Proklamasi dan Bendera Pusaka, mikrofon inilah benda bersejarah, yang pantas kita simpan sepanjang masa.”

HISTORIA.ID

Rabu, 16 Agustus 2017

KILAS BALIK MARITIM INDONESIA


Pandangan bahwa laut merupakan kehidupan, tempat banyak orang bergantung kiranya sulit dipungkiri. Sejak zaman pra sejarah, manusia yang mendiami kepuluan Nusantara sudah mampu berlayar hingga Barat Afrika. Secara geografis Nusantara yang menjadi cikal bakal Republik Indonesia lebih tepat disebut negara kelautan.

Hal tersebut sudah dibuktikan oleh Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit. Dua emporium kekuatan kerajaan Nusantara tersebut bisa menjadi besar karena bisa menguasai laut. Dengan menguasai laut dan tentu dengan militer yang kuat, dua kerajaan tersebut berhasil mengontrol seluruh perniagaan di seluruh Asia Tenggara.

Keadaan tersebut berlansung cukup lama, hingga datangnya pedagang Eropa pada abad 16. Dunia kemaritiman Nusantara sejak saat itu dihadapkan pada dunia kapitalisme dan imperialisme semakin membatasi gerak kehidupannya. Keberlanjutan jaringan pelayaran orang Nusantara dengan dunia maritimnya kini goyah termasuk kerajaan yang ada di dalamnya, setelah itu Nusantara masuk dalam fase kolonialisme.



Kolonialisme menyebabkan perubahan cara pandang manusia nusantara dalam kehidupan sehari-hari. Laut tak lagi menjadi prioritas, kalau pun melaut, laut sudah dikuasai pihak kolonial. Tak cukup sampai di situ, Belanda juga menerapkan pemahaman konsep darat seperti yang ada di Eropa. Sejak saat itu, semua kehidupan termasuk laut menghadap ke utara (Eropa). Contohnya Selatan Jawa yang pada masa kerajaan Majapahit menjadi pelabuhan tersibuk, saat itu ditinggal dan menjadi daerah miskin hingga saat ini. Proses meninggalkan laut berlangsung hingga menjelang kemerdekaan.

Menjelang kemerdekaan, para Founding Fathers punya rasa ingin mengembalikan masa-masa keemasan Sriwijaya dan Majapahit, salah satunya dengan kembali ke laut. Dalam sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada 31 Mei 1945, Muhammad Yamin dengan tegas memperjuangkan perwujudan Tanah Air ke dalam wilayah negara Indonesia. ia menegaskan bahwa pemahaman Tanah Air adalah konsep tunggal.

Dengan demikian, Tanah Air merupakan konsep yang satu. “..membicarakan daerah Negara Indonesia dengan menumpahkan perhatian kepada pulau dan daratan sesungguhnya adalah berlawanan dengan realitas. Tanah Air ialah terutama daerah lautan dan mempunyai pantai yang panjang.”

Yamin meyakini laut Indonesia namun kala itu mendapat hambatan dari dunia Internasional yang menyebut laut merupakan zona bebas. Perjuangan Indonesia mengintegrasikan laut ke dalam wilayahnya dimulai kembali oleh Perdana Menteri Djuanda pada 1957. Untuk menguasai kembali lautan, pemerintah Soekarno memperkuat pasukan angkatan laut baik dari jumlah prajurit hingga alat utama sistem persenjataan. Namun, pengembalian laut sebagai sumber kehidupan gagal setelah pemerintahan berpindah tangan ke Soeharto yang berorientasi ke darat.

Buku yang terdiri dari 42 bagian ini kiranya penting untuk dibaca untuk semua agar tidak lagi meninggalkan laut sebagai kehidupan. Sebagai penutup, berikut kutipan folklore Bugis yang menggambarkan kekayaan laut. Ketika diajukan mas kimpoi untuk melamar gadis pujannya, pemuda miskin menjawab, “Pak, saya masih muda, karena itu belum sempat mengumpulkan kekayaan. Tetapi, saya memiliki kolam ikan yang luas dengan jumlah ikan yang tak terhitung banyaknya, yang tak pernah abis dipanen. Kolam itu adalah laut, pusaka dari nenek moyang saya.”

Negara Indonesia adalah negara yang terdiri dari belasan ribu pulau bisa juga disebut sebagai negara kepulauan atau Archipelagic State. Kata Archipelago sering diartikan sebagai “Kepulauan” yang sebenarnya ada perbedaan pengertian secara fundamental antara kepulauan dan archipelago. Kata kepulauan sendiri berarti kumpulan pulau-pulau, sedangkan istilah Archipelago berasal dari bahasa latin, yaitu Archipelagus yang terdiri dari dua kata yaitu Archi yang berarti laut dan pelagus yang berarti utama sehingga arti sesungguhnya adalah Laut Utama. (Histori.id)